Langkah-Langkah Berpikir Kritis dalam Audit Internal

Dalam dunia audit internal, berpikir kritis adalah keterampilan yang tak ternilai, layaknya kacamata yang membantu kita melihat dengan jelas di tengah kabut kebingungan. Bayangkan jika auditor hanya mengandalkan intuisi tanpa analisis, mungkin kita akan menemukan lebih banyak misteri daripada jawaban. Nah, di sinilah kita perlu mengenakan “kacamata kritis” kita untuk mendalami masalah, mengumpulkan bukti, dan membuat kesimpulan yang logis.

Apa Itu Berpikir Kritis?

Banyak ahli yang memberikan definisi mengenai apa itu berpikir kritis. Pada dasarnya, berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis informasi secara objektif, mengidentifikasi pola, dan mengevaluasi bukti untuk mencapai kesimpulan yang logis. Berpikir kritis melibatkan pemikiran logis, analisis mendalam, serta kemampuan untuk menghindari bias dalam pengambilan keputusan.

Dalam audit, berpikir kritis membantu auditor memilah informasi yang relevan dari yang tidak, memahami hubungan kausalitas, mengidentifikasi risiko yang tersembunyi, membuat kesimpulan yang logis, serta membuat rekomendasi yang menyelesaikan akar masalahnya.

Bagaimana Proses Berpikir Kritis Diterapkan?

Mari kita telaah langkah demi langkah. Dari awal hingga akhir langkah-langkahnya, saya akan menggunakan contoh “Adanya temuan transaksi yang tidak lengkap otorisasinya”.

1. Identifikasi Masalah

Langkah pertama adalah memahami masalah yang dihadapi. Anda menemukan bahwa dokumen otorisasi untuk beberapa transaksi di atas Rp250 juta hanya ditandatangani oleh manajer, padahal kebijakan perusahaan mengharuskan persetujuan dari direktur untuk transaksi di atas Rp250 juta.

Identifikasi masalah secara spesifik. Contoh:

  • Apa jenis transaksi yang terlibat?
  • Otorisasi apa yang hilang?
  • Apakah ini kejadian satu kali atau ada pola berulang?

2. Mengumpulkan Informasi

Setelah masalah teridentifikasi, langkah berikutnya adalah mengumpulkan data dan fakta yang relevan. Fokus pada informasi yang mendukung atau menantang pemahaman awal Anda.

Contoh:

  • Tinjau kebijakan otorisasi perusahaan.
  • Periksa dokumen pendukung transaksi lain dalam periode yang sama.
  • Wawancarai manajer untuk memahami proses yang terjadi.
  • Identifikasi apakah ada risiko kerugian akibat transaksi ini.

3. Analisis Informasi

Analisis informasi bertujuan untuk memahami akar penyebab masalah. Apakah ini kesalahan administratif, kelalaian, atau indikasi pelanggaran serius? Dalam tahap ini, penting untuk memisahkan fakta dari opini.

Contoh:

Dari dokumen yang ditinjau, Anda menemukan bahwa:

  • Terdapat email persetujuan dari direktur, tetapi tidak ada tanda tangan resmi.
  • Pola serupa terlihat pada transaksi lain di bawah manajer yang sama.
  • Tidak ada indikasi kerugian finansial langsung.

4. Evaluasi Bukti

Evaluasi bukti dilakukan untuk menilai apakah informasi yang dikumpulkan dapat diandalkan dan relevan.

Contoh:

  • Anda memverifikasi bahwa kebijakan otorisasi memang mengharuskan tanda tangan direktur.
  • Apakah ada bukti kuat bahwa ini adalah kesalahan prosedural atau disengaja?
  • Bukti lain, seperti email persetujuan, mengindikasikan adanya proses informal, tetapi ini tidak cukup memenuhi kebijakan resmi.

5. Menghindari Bias

Auditor harus berhati-hati agar tidak membuat kesimpulan berdasarkan asumsi, preferensi pribadi, atau tekanan dari pihak tertentu.

Contoh:

  • Jangan langsung menganggap ini adalah kesalahan karyawan tertentu tanpa bukti.
  • Hindari berpikir bahwa “manajer pasti sengaja,” meskipun ada riwayat kejadian serupa.

6. Membuat Kesimpulan

Setelah menganalisis semua bukti, saatnya menarik kesimpulan. Kesimpulan harus berdasarkan fakta, bukan dugaan.

Contoh:

  • Jika ditemukan bahwa transaksi dilakukan tanpa otorisasi karena alasan darurat, auditor dapat merekomendasikan pembaruan prosedur untuk situasi darurat.
  • Jika terbukti ada pelanggaran disengaja, auditor dapat merekomendasikan tindakan disipliner dan perbaikan kontrol.
  • Proses informal, seperti persetujuan melalui email, harus diatur dalam prosedur bagaimana proses dan dokumentasinya.

7. Bersikap Terbuka pada Revisi

Berpikir kritis mencakup keterbukaan untuk merevisi kesimpulan jika bukti baru muncul. Sebagai auditor, kita harus siap mengubah perspektif jika ada informasi tambahan yang relevan.

Berpikir kritis bukan hanya tentang menemukan kesalahan, tetapi juga tentang memahami akar masalah dan memberikan rekomendasi yang relevan. Dalam contoh kasus transaksi tanpa otorisasi lengkap, langkah-langkah ini membantu auditor memastikan bahwa keputusan didasarkan pada bukti yang kuat, bukan asumsi.

Salam sukses bermanfaat…

*) Dielaborasi dengan bantuan GenAI
*) Photo by Nataliya Vaitkevich

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top