5 Kesalahan Berpikir yang Sering Kita Temui di Media Sosial

Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Dari sekadar berbagi momen hingga beradu argumen, semuanya ada di sana. Namun, di balik kemudahan berinteraksi, media sosial juga kerap menjadi sarang kesalahan berpikir atau yang dikenal sebagai logical fallacy.

Tulisan ini bermula dari buku “Logical Fallacy: Menguak Kesalahan-Kesalahan Berpikir yang Kerap Kita Jumpai Sehari-hari” karya Muhammad Nuruddin. Buku tersebut mengulas berbagai pola pikir keliru yang sering kita temui.

Memahami fallacy ini penting karena tanpanya, kita bisa salah paham, termakan hoaks, atau bahkan terjebak dalam perdebatan kusir tanpa ujung.

Photo by Gemini

Yuk, kita kenali 5 di antaranya yang paling sering muncul di linimasa kita.

1. Ad Hominem: Menyerang Pribadi, Bukan Substansi

Pernahkah kamu melihat komentar yang isinya menyerang penampilan, latar belakang, atau hal personal lain dari si pengunggah atau komentator, alih-alih membahas argumennya? Itulah Ad Hominem.

Contoh di Medsos:

“Ah, paling juga dia buzzer suruhan, mana bisa mikir jernih!” (menyerang peribadi daripada membahas poin yang disampaikan).

“Dasar netizen miskin, gaya banget ngomongin ekonomi negara!” (menyerang status ekonomi, bukan analisis ekonominya).

Kesalahan ini mengalihkan fokus dari diskusi yang sehat menjadi serangan personal yang tidak relevan. Saya yakin kamu pernah menjumpai fallacy ini. Apalagi pada saat musim pilpres dan pilkada beberapa waktu yang lalu.

2. Strawman Fallacy (Manusia Jerami): Memelintir Argumen Lawan

Ini terjadi ketika seseorang menyederhanakan, melebih-lebihkan, atau bahkan mengubah argumen lawan bicaranya agar lebih mudah diserang. Ibaratnya, mereka membuat “manusia jerami” yang mudah dirobohkan, padahal lawan aslinya tidak seperti itu.

Contoh di Medsos:

Argumen asli: “Menurut saya, pembatasan kendaraan bermotor perlu dipertimbangkan untuk mengurangi polusi.”

Respons Strawman: “Oh, jadi kamu mau kita semua jalan kaki dan tidak punya mobil sama sekali? Itu tidak realistis!” (padahal tidak ada yang bilang ingin semua orang jalan kaki).

Hati-hati, Strawman bisa membuat diskusi jadi bias dan jauh dari esensi.

3. Bandwagon Fallacy (Argumen Mayoritas): Ikut-ikutan Tanpa Pikir

Kesalahan berpikir ini terjadi ketika seseorang menganggap sesuatu itu benar atau baik hanya karena “banyak orang lain” yang percaya atau melakukannya. Popularitas dijadikan tolak ukur kebenaran.

Contoh di Medsos:

“Jutaan orang percaya astrologi itu akurat, masa kamu bilang itu cuma mitos?” (Meskipun popular, akurasi astrologi bukan ditentukan oleh jumlah penganut).

“Postingan ini sudah di-like jutaan orang, berarti isinya pasti benar.” (Padahal jumlah like tidak menjamin kebenaran fakta).

Ingat, kebenaran tidak ditentukan oleh suara terbanyak.

4. False Dilemma (Dilema Palsu): Memaksakan Dua Pilihan Ekstrem

Kesalahan ini muncul saat seseorang menyajikan hanya dua pilihan ekstrem sebagai satu-satunya kemungkinan. Padahal, sebenarnya ada banyak alternatif atau nuansa lain di antaranya. Di media sosial, ini seringkali digunakan untuk mempolarisasi pandangan dan membatasi pemikiran.

Contoh di Medsos:

“Kalau kamu tidak setuju dengan kebijakan ini, berarti kamu tidak cinta negara!” (Seolah-olah tidak setuju berarti tidak cinta negara, padahal bisa saja ada kritik membangun).

“Kamu itu buzzer pemerintah atau buzzer oposisi? Gak ada yang netral di era sekarang!” (Membagi orang menjadi dua kubu tanpa mengakui posisi netral atau kritis independen).

Berhati-hatilah, karena false dilemma bisa membuat kita terjebak dalam kotak pandang sempit yang tidak merepresentasikan realitas.

5. Appeal to Emotion (Menarik Emosi): Mainkan Emosi, Lupakan Fakta

Kesalahan ini mencoba memanipulasi emosi audiens (rasa kasihan, takut, marah, senang) untuk memenangkan argumen, alih-alih menyajikan bukti atau logika yang kuat.

Contoh di Medsos:

“Kalau Anda tidak setuju dengan saya, berarti Anda tidak punya hati dan tidak peduli nasib rakyat kecil!” (memainkan emosi rasa bersalah atau kasihan).

“Tolong bantu share postingan ini! Jika tidak, Anda sama saja membiarkan ketidakadilan ini terus terjadi!” (menggunakan rasa takut dan tekanan sosial).

Meski emosi penting, argumen yang kuat harus didasari oleh fakta dan penalaran, bukan hanya dorongan hati.

Mari Berpikir Lebih Kritis

Mengenali kelima kesalahan berpikir ini adalah langkah awal untuk menjadi pengguna media sosial yang lebih cerdas dan kritis. Sebelum ikut meramaikan komentar atau ikut menyebarkan informasi, coba tanyakan pada diri sendiri:

  • Apakah argumen ini relevan?
  • Apakah ada bukti yang mendukungnya?
  • Apakah saya sedang dimanipulasi emosinya?
  • Apakah ini benar-benar inti dari masalahnya?

Dengan sedikit kesadaran dan latihan, kita bisa menciptakan ruang diskusi yang lebih sehat dan produktif di media sosial.

Bagaimana menurutmu, apakah ada logical fallacy lain yang sering kamu temui di media sosial dan penting untuk dibahas?

Salam sukses bermanfaat…

*) Dielaborasi dengan bantuan GenAI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top