5 Kesalahan Berpikir yang Sering Bikin Kacau di Kantor

Dunia kerja adalah arena yang dinamis, penuh dengan diskusi, pengambilan keputusan, dan interaksi antarindividu. Namun, di balik semua itu, seringkali ada jebakan tak terlihat yang bisa mengganggu produktivitas, menghambat inovasi, bahkan merusak hubungan antarkolega. Jebakan itu adalah kesalahan berpikir atau logical fallacy.

Tulisan ini bermula dari buku “Logical Fallacy: Menguak Kesalahan-Kesalahan Berpikir yang Kerap Kita Jumpai Sehari-hari” karya Muhammad Nuruddin. Buku tersebut mengulas berbagai pola pikir keliru yang sering kita temui.

Memahami fallacy ini bukan hanya soal etika berdebat, tapi juga kunci untuk komunikasi yang efektif, pengambilan keputusan yang tepat, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih rasional.

Photo by Gemini

Mari kita bedah 5 logical fallacy yang paling sering kita jumpai di kantor.

1. Ad Hominem: Menyerang Pribadi, Bukan Kinerja

Ini adalah salah satu fallacy yang paling merusak di tempat kerja. Daripada membahas ide, kinerja, atau argumen seseorang, kritik diarahkan pada karakter atau hal personal individu tersebut.

Contoh di Dunia Kerja:

“Ide proyeknya Pak Budi tidak akan berhasil, dia kan baru pindah dari divisi yang kurang performanya.” (Menyerang latar belakang pindahan, bukan mengevaluasi idenya.)

“Jangan dengarkan saran Bu Dina soal strategi marketing, dia itu kan juga sibuk mengurus rumah tangga, mana sempat riset mendalam.” (Menyerang status personal, bukan substansi sarannya.)

Ad Hominem tidak hanya tidak relevan, tapi juga bisa menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan penuh prasangka.

2. Appeal to Authority: “Karena Bos Bilang Begitu”

Ini terjadi ketika suatu ide atau keputusan diterima begitu saja sebagai kebenaran hanya karena diutarakan oleh seseorang yang memiliki posisi atau jabatan tinggi, tanpa evaluasi kritis terhadap argumennya.

Contoh di Dunia Kerja:

“Kita harus ikut strategi ini, karena Pak Direktur yang bilang begitu, pasti benar.” (Menerima tanpa mempertanyakan analisis atau data yang mendasarinya.)

“Saya yakin ini adalah cara terbaik, karena manajer senior saya selalu melakukannya seperti ini selama 20 tahun.” (Mengandalkan otoritas dan pengalaman tanpa melihat konteks atau perkembangan baru.)

Meskipun pengalaman dan posisi penting, ide harus didasari oleh bukti dan logika, bukan semata-mata hierarki.

3. Slippery Slope: Ketakutan Berlebihan pada Konsekuensi

Slippery Slope adalah klaim bahwa satu tindakan kecil akan secara otomatis mengarah pada serangkaian konsekuensi negatif yang ekstrem dan tidak masuk akal. Klaim ini seringkali digunakan untuk menolak ide baru.

Contoh di Dunia Kerja:

“Kalau kita mengizinkan karyawan work from home dua hari seminggu, nanti semua orang akan jadi malas, produktivitas turun drastis, dan perusahaan bisa bangkrut!” (Dari WFH dua hari langsung melompat ke skenario bangkrut tanpa bukti logis.)

“Jika kita mulai menggunakan software baru ini, nanti semua sistem lama harus dirombak, budget membengkak, dan akhirnya proyek tidak selesai.” (Mengasumsikan serangkaian dampak buruk yang berantai tanpa dasar kuat.)

Fallacy ini seringkali menjadi penghalang inovasi karena memicu ketakutan yang tidak rasional.

4. False Dilemma: Hanya Ada Dua Pilihan

Kesalahan ini muncul saat seseorang menyajikan hanya dua pilihan ekstrem sebagai satu-satunya kemungkinan. Padahal, sebenarnya ada banyak alternatif atau nuansa lain di antaranya. Ini sering digunakan untuk memaksakan keputusan atau menyederhanakan masalah kompleks.

Contoh di Dunia Kerja:

“Kita harus bekerja lembur setiap hari untuk menyelesaikan proyek ini, atau kita pasti akan melewatkan deadline.” (Mengabaikan opsi lain seperti redistribusi tugas atau penambahan sumber daya.)

“Kamu harus mendukung usulan divisi pemasaran ini secara penuh, atau kamu otomatis menentang kemajuan perusahaan.” (Tidak ada ruang untuk dukungan parsial atau saran perbaikan.)

False Dilemma membatasi kreativitas dan seringkali mendorong keputusan yang tergesa-gesa tanpa pertimbangan semua opsi.

5. Red Herring: Mengalihkan Isu Utama

Red Herring adalah strategi untuk mengalihkan perhatian dari argumen utama atau pertanyaan yang sulit dengan memperkenalkan topik yang tidak relevan.

Contoh di Dunia Kerja:

Pertanyaan: “Mengapa laporan keuangan bulan ini menunjukkan kerugian yang signifikan?”

Pengalihan: “Saya rasa kita harus lebih fokus pada peningkatan moral karyawan, karena lingkungan kerja yang positif itu penting untuk kinerja jangka panjang.” (Mengalihkan fokus dari masalah keuangan ke isu moral karyawan.)

Kritik: “Sistem baru ini masih banyak bug dan sulit digunakan.”

Pengalihan: “Tapi bukankah kita sudah menghabiskan banyak waktu dan uang untuk mengembangkannya? Kita tidak bisa begitu saja membatalkannya!” (Mengalihkan perhatian dari masalah teknis ke investasi yang sudah dilakukan.)

Red Herring seringkali dipakai untuk menghindari tanggung jawab atau menutupi kelemahan argumen.

Penutup

Dunia kerja menuntut efisiensi dan keputusan yang logis. Tapi jika kita diam-diam terus terjebak dalam logical fallacy, maka potensi terbaik dari tim bisa terkubur oleh bias dan asumsi.

Belajar mengenali kesalahan berpikir bukan sekadar teori, tapi keterampilan penting agar organisasi bisa berpikir jernih, berdiskusi sehat, dan mengambil keputusan yang tepat.

Salam sukses bermanfaat…

*) Dielaborasi dengan bantuan GenAI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top