Kenali 3 Kesalahan Logika yang Sering Dipakai Menyebar Hoaks

Di tengah hiruk pikuk informasi digital, hoaks atau berita palsu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Berita-berita ini seringkali dirancang sedemikian rupa agar tampak meyakinkan, padahal sebenarnya hanya tipuan belaka. Salah satu senjata utama para penyebar hoaks adalah kesalahan logika atau logical fallacy.

Logical fallacy bekerja dengan memelintir cara berpikir kita dan membuat kita percaya pada klaim yang tidak berdasar. Dengan mengenali taktik ini, kita bisa lebih waspada dan melindungi diri dari penyesatan informasi.

Yuk, kita bedah tiga logical fallacy yang paling sering digunakan untuk menyebar hoaks.

Photo by Gemini

1. Appeal to Emotion (Menggugah Emosi)

Ini adalah senjata paling ampuh dalam menyebarkan hoaks. Penyebar informasi palsu tidak akan repot-repot menyajikan fakta atau bukti rasional. Mereka justru akan memainkan emosi kita seperti rasa takut, marah, kasihan, benci, atau bahkan antusiasme berlebihan, untuk memancing reaksi cepat dan mengesampingkan nalar.

Bagaimana dipakai untuk hoaks:

Hoaks sering dilengkapi narasi yang mendramatisasi, foto atau video yang memicu emosi kuat, atau klaim yang membangkitkan kemarahan/ketakutan mendalam, tanpa perlu didukung data konkret.

Tujuannya agar kamu langsung percaya, bereaksi, dan bahkan ikut menyebarkan tanpa berpikir dua kali.

Contoh Hoaks:

“Awas! Ada modus penipuan baru yang sangat kejam. Jika tidak disebar, banyak korban akan berjatuhan!” (Memainkan rasa takut dan urgensi untuk menyebarkan tanpa verifikasi).

“Lihat betapa kejamnya perlakuan mereka! Berita ini harus viral agar semua tahu kebusukan mereka!” (Memicu kemarahan dan kebencian terhadap pihak tertentu).

Ketika membaca berita yang memicu emosi kuat, selalu tanyakan, apakah ini berusaha memanipulasi saya? Di mana buktinya?

2. Appeal to Authority (Mengaku Pakar Palsu tapi Palsu atau Tak Relevan)

Fallacy ini muncul ketika suatu klaim dianggap benar hanya karena dikemukakan oleh seseorang atau sumber yang dianggap memiliki otoritas. Padahal, otoritas tersebut tidak relevan dengan bidangnya, tidak benar-benar ada (fiktif), mungkin ada tapi tidak pernah membuat klaim, atau informasinya tidak didukung bukti lain.

Bagaimana dipakai untuk hoaks:

Hoaks sering mencatut nama tokoh terkenal, “ilmuwan” (tanpa bukti penelitian valid), “lembaga riset rahasia,” atau “pakar” yang tidak disebutkan identitasnya, untuk memberi kesan kredibilitas palsu.

Tujuannya agar kita percaya begitu saja karena “yang ngomong orang pintar/berkuasa/terkenal.”

Contoh Hoaks:

“Profesor terkenal dari Universitas A (padahal fiktif) mengatakan bahwa bawang putih bisa menyembuhkan kanker.” (Menggunakan klaim otoritas palsu untuk pengobatan).

“Menurut bocoran intelijen rahasia, akan ada bencana besar minggu depan. Harap bersiap!” (Menggunakan “sumber terpercaya” yang anonim dan tidak dapat diverifikasi).

Jangan mudah tergiur dengan klaim yang hanya mengandalkan “kata siapa.” Selalu verifikasi otoritas dan relevansinya.

3. False Cause (Penyebab Palsu)

False Cause adalah kesalahan logika di mana seseorang mengasumsikan bahwa karena dua peristiwa terjadi berurutan atau bersamaan, maka salah satu pasti menjadi penyebab yang lain. Padahal, bisa jadi tidak ada hubungan kausal sama sekali, atau ada faktor lain yang menjadi penyebab sebenarnya.

Bagaimana dipakai untuk hoaks:

Hoaks sering menghubung-hubungkan dua kejadian yang tidak terkait secara logis untuk menciptakan narasi yang menyesatkan atau menuding pihak tertentu. Ini sering dipakai untuk menyalahkan, menakut-nakuti, atau membangun konspirasi.

Tujuannya adalah membuat kamu percaya bahwa satu hal buruk terjadi karena hal lain, padahal tidak ada hubungan sebab-akibat yang valid.

Contoh Hoaks:

“Sejak program A diluncurkan, angka kriminalitas meningkat drastis! Jadi, program ini penyebab utama kejahatan.” (Mengabaikan faktor sosial, ekonomi, atau lainnya yang mungkin berkontribusi pada kriminalitas).

“Setelah vaksinasi massal, banyak orang jadi sakit flu. Jelas ini efek samping vaksin!” (Mengabaikan bahwa flu adalah penyakit umum yang bisa terjadi kapan saja, atau virus flu lain yang beredar).

Berhati-hatilah terhadap klaim “karena ini, maka itu” yang tidak didukung bukti kuat. Korelasi (terjadi bersamaan) tidak selalu berarti kausasi (salah satu menyebabkan yang lain).

Perisai Terbaik Kita: Berpikir Kritis

Jadi, sekarang kamu sudah tahu beberapa trik yang sering dipakai penyebar hoaks. Kunci utama untuk melindungi diri kita? Simpel, melatih kemampuan berpikir kritis.

Setiap kali ada informasi yang bikin emosi melonjak atau terasa terlalu sensasional, coba deh berhenti sejenak. Tanyakan pada diri sendiri, “Ini beneran nggak ya? Sumbernya jelas nggak? Ada bukti lain nggak?”

Dengan sedikit latihan, kamu akan makin jeli membedakan mana hoaks, mana fakta.

Salam sukses bermanfaat…

*) Dielaborasi dengan bantuan GenAI

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top