Akhir-akhir ini, istilah “quiet quitting” sering berseliweran di mana-mana. Fenomena ini menggambarkan sikap karyawan yang melakukan pekerjaan hanya sebatas kewajiban. Mereka melakukan kewajiban tanpa ada inisiatif lebih, minim antusiasme, dan tanpa niat untuk melampaui ekspektasi. Bukan berarti mereka berhenti bekerja, tapi mereka berhenti memberikan lebih dari yang minimum.
Banyak orang menganggap ini adalah bentuk perlindungan diri dari dunia kerja yang makin menuntut. Tapi ada pertanyaan penting yang jarang ditanyakan, apakah ini solusi jangka panjang? Atau hanya pelarian sesaat?

Saat Pekerjaan Terasa Hampa
Ada alasan mengapa banyak orang memilih quiet quitting. Rasa jenuh. Pekerjaan yang terasa tidak bermakna. Tidak ada penghargaan. Tidak ada ruang berkembang. Dan tentu saja, gaji yang tak sepadan.
Tapi jika semua itu hanya direspons dengan sikap “ya udahlah, asal kerja aja”, lama-lama kita sendiri yang terjebak. Bukan cuma di pekerjaan yang tak berkembang, tapi juga dalam versi diri yang stagnan.
Bagaimana jika akar masalahnya bukan pada pekerjaan itu sendiri, melainkan pada bagaimana kita mendekati pekerjaan kita?
Bangun “Career Capital” untuk Memecah Lingkaran Quiet Quitting
Cal Newport, dalam bukunya “So Good They Can’t Ignore You”, menawarkan perspektif yang menantang fenomena ini. Alih-alih menyalahkan pekerjaan atau lingkungan, Newport mengarahkan kita untuk melihat ke dalam diri sendiri. Sudahkah kita berinvestasi untuk membangun modal karir atau “career capital” yang cukup untuk memecah keadaan ini.
“Career capital” adalah kumpulan keterampilan yang langka dan bernilai tinggi yang membuat kamu sangat ahli dalam bidangmu. Jika kamu belum memiliki keterampilan ini, maka fokus haruslah diarahkan pada perolehan keterampilan tersebut.
Membangun “career capital” secara aktif adalah antitesis dari quiet quitting karena ia mendorong kamu untuk:
- Meningkatkan Kemampuan: Alih-alih hanya menyelesaikan tugas, kamu mencari cara untuk menguasainya, menjadi lebih efisien, atau menemukan solusi inovatif.
- Mengambil Inisiatif: Kamu tidak menunggu perintah, melainkan mencari peluang untuk belajar, memimpin proyek, atau memecahkan masalah yang lebih kompleks.
- Menciptakan Nilai: Kamu berfokus pada memberikan kontribusi yang signifikan, yang pada gilirannya membuat kamu merasa lebih dihargai dan tak tergantikan.
Semakin banyak “career capital” yang kamu kumpulkan, semakin besar otonomi (kendali atas pekerjaan), kompetensi (rasa ahli dalam apa yang dilakukan), dan dampak (kemampuan untuk menciptakan perubahan) yang akan kamu rasakan.
Faktor-faktor tersebut, menurut Newport, yang pada akhirnya menumbuhkan kepuasan kerja yang mendalam dan secara efektif mengusir keinginan untuk sekadar “menyerah” pada pekerjaan.
Bagaimana Membangun Career Capital?
“Craftsman mindset” atau pola pikir pengrajin adalah pendekatan yang efektif untuk membangun career capital. Modal berharga dalam bentuk keahlian, pengalaman, dan kredibilitas yang kamu kumpulkan sepanjang perjalanan karier.
Alih-alih bertanya, “Apa yang bisa saya dapatkan dari pekerjaan ini?”, pola pikir pengrajin mendorong kita untuk berfokus pada pertanyaan yang lebih membangun, “Apa yang bisa saya berikan, dan bagaimana saya bisa menjadi lebih baik dalam hal ini?”
Dalam konteks quiet quitting, di mana seseorang mungkin mulai menarik diri dari tanggung jawab lebih atau merasa kehilangan keterhubungan dengan pekerjaannya. Craftsman mindset bisa menjadi cara untuk kembali menemukan makna melalui peningkatan kemampuan.
Dengan memilih untuk memperbaiki keterampilan, memperkuat kontribusi, dan menantang diri sendiri dalam pekerjaan sehari-hari, kamu secara perlahan membangun career capital yang memberikan kamu daya tawar lebih tinggi, baik di tempat kerja saat ini maupun di kesempatan karier berikutnya.
Penutup
Sebelum memutuskan untuk quiet quitting, mungkin inilah saatnya untuk berhenti sejenak. Bisa jadi quiet quitting bukanlah solusi, melainkan sebuah sinyal. Sinyal bahwa sudah waktunya kita berhenti berharap pada pekerjaan sempurna yang sesuai keinginan, dan mulai berinvestasi pada kemampuan diri.
Seperti yang ditulis Cal Newport, kepuasan kerja sejati lahir dari penguasaan. Jika kamu merasa jenuh atau tidak termotivasi, coba tanyakan pada diri sendiri, “Sudahkah saya benar-benar mengasah keahlian saya hingga batas maksimal? Apakah saya sudah menjadi begitu baik sehingga saya tak bisa diabaikan?” Jawabannya mungkin menjadi kunci untuk menemukan kembali semangat yang telah lama hilang.
Salam sukses bermanfaat…
*) Dielaborasi dengan bantuan GenAI